Minggu, 15 April 2012

ASSET


Aset tetap merupakan suatu aset tetap berwujud maupun tidak berwujud yang dimiliki oleh suatu perusahaan, yang mempunyai waktu penggunaanya lebih dari satu tahun atau jangka panjang yang digunakan dalam operasi perusahaan dan tidak dimaksudkan untuk dijual kembali. Aset tetap diperlukan oleh perusahaan selama perusahaan itu berjalan, sebab aset tetap bagi kebanyakan orang maupun perusahaan yang bergerak dalam bidang penjualan merupakan suatu bagian yang sangat penting dan diperlukan dalam usaha membantu jalannya operasi perusahaan. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika suatu perusahaan menggunakan atau mengeluarkan dana yang cukup besar untuk memiliki suatu aset tetap, karena disamping harga aset tetap itu cukup mahal dan juga mengingat pentingnya pengaruh aset tetap tersebut terhadap kegiatan perusahaan lainnya.
Jenis aset tetap dalam perusahaan pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu aset tetap berwujud dan aset tetap tidak berwujud. Aset tetap berwujud adalah suatu aset yang mempunyai wujud secara phisik, misalnya gedung dan kendaraan. Sedangkan aset tetap tidak berwujud adalah aset tetap yang tidak mempunyai bentuk secara phisik, misalnya hak patent, dan merk dagang.
Aset tetap yang diperoleh dengan cara dibeli dalam bentuk siap pakai/dipergunakan dibukukan sebesar harga perolehannya. Biaya Perolehan dari aset tetap dibukukan berdasarkan harga beli ditambah biaya yang terjadi dalam rangka penempatan aset tersebut pada kondisi dan tempat yang siap untuk dipergunakan, seperti   : bea masuk, pajak, biaya pengangkutan, biaya pemasangan dan lain sebagainya. Aset tetap digunakan dalam suatu operasi perusahaan lebih dari satu tahun atau jangka panjang, maka tidaklah tepat kalau biaya jasa pemakaian aset tetap dibebankan pada saat pembelian aset tetap tersebut. Oleh karena itu perlu diadakan penyusutan aset tetap tersebut, yakni pembebanan biaya atas jasa pemakaian aset tetap yang telah dilakukan tahap demi tahap atau dari suatu periode ke periode berikutnya sampai umur ekonomisnya habis.
Pengalokasian pembebanan biaya penyusutan setiap tahunnya adalah sangat penting, karena pembebanan biaya penyusutan itu mempunyai pengaruh yang sangat besar sekali terhadap neraca dan perhitungan rugi/laba perusahaan. Maka dari itu tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan gambaran kepada perusahaan tentang cara yang lazim diterima dalam menentukan besarnya biaya penyusutan periode, karenanya kesalahan yang terjadi dalam menghitung besarnya beban penyusutan akan mengakibatkan kesalahan pula pada pembukuan. Hal ini memerlukan pemecahan tersendiri, karena pembebanan penyusutan terlalu tinggi, maka akan mengakibatkan perusahaan menjadi rugi. Atau sebaliknya jika pembebanan penyusutan terlalu rendah, maka akan mengakibatkan perusahaan mengalami suatu keuntungan.
 Dalam aset tetap yang sudah terjual, di mana biaya perolehan serta akumulasi penyusutannya dikeluarkan dari kelompok aset tetap. Laba atau rugi yang terjadi diakui sebagai pendapatan atau beban periode yang bersangkutan, aset tetap yang sudah tidak digunakan lagi, biaya perolehan serta akumulasi penyusutannya dikeluarkan dari kelompok aset tetap dan dipindahkan sebagai "Aset Lain-lain". Untuk memperoleh penetapan laba atau rugi periode yang wajar. Aset tetap disusutkan setiap bulan. Penyusutan aset tetap dilakukan secara sistimatis yaitu dengan mendebet perkiraan biaya penyusutan dan mengkredit akumulasi penyusutan aset tetap yang bersangkutan.

Minggu, 18 Maret 2012

Tujuan, Fungsi, dan Manfaat koperasi


Tujuan, Fungsi, dan Manfaat koperasi

Nama Kelompok :
Windy B. Siregar
Dian Haryani
Singgih R. wigati
Cristin Amelia
wanda risakotta
rahmat subekti

Kelas : 3DD02
Mata Kuliah : Ekonomi Koperasi (Softskill)

Tujuan Koperasi
Tujuan utama Koperasi Indonesia adalah mengembangkan kesejahteraan anggota, pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Koperasi Indonesia adalah perkumpulan orang-orang, bukan perkumpulan modal sehingga laba bukan merupakan ukuran utama kesejahteraan anggota. Manfaat yang diterima anggota lebih diutamakan daripada laba. Meskipun demikian harus diusahakan agar koperasi tidak menderita rugi. Tujuan ini dicapai dengan karya dan jasa yang disumbangkan pada masing-masing anggota.
“Keanggotaan Koperasi Indonesia bersifat sukarela dan didasarkan atas kepentingan bersama sebagai pelaku ekonomi. Melalui koperasi, para anggota ikut, secara aktif memperbaiki kehidupannya dan kehidupan masyarakat melalui karya dan jasa yang disumbangkan. Dalam usahanya, koperasi akan lebih menekankan pada pelayanan terhadap kepentingan anggota, baik sebagai produsen maupun konsumen. Kegiatan koperasi akan lebih banyak dilakukan kepada anggota dibandingkan dengan pihak luar. Oleh karena itu, anggota dalam koperasi, bertindak sebagai pemilik sekaligus pelanggan.”(SAK,1996:27.1)
Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Pasal 3 tujuan koperasi Indonesia adalah “koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.
Fungsi dan Peran Koperasi
Sebagaimana dikemukakan dalam pasal 4 UU No. 25 Tahun 1992, fungsi dan peran koperasi di Indonesia seperti berikut ini.
1) Membangun dan mengembangkan potensi serta kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial Potensi dan kemampuan ekonomi para anggota koperasi pada umumnya relatif kecil. Melalui koperasi, potensi dan kemampuan ekonomi yang kecil itu dihimpun sebagai satu kesatuan, sehingga dapat membentuk kekuatan yang lebih besar. Dengan demikian koperasi akan memiliki peluang yang lebih besar dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat pada umumnya dan anggota koperasi pada khususnya.
2) Turut serta secara aktif dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan manusia dan masyarakat Selain diharapkan untuk dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi para anggotanya, koperasi juga diharapkan dapat memenuhi fungsinya sebagai wadah kerja sama ekonomi yang mampu meningkatkan kualitas kehidupan manusia dan masyarakat pada umumnya. Peningkatan kualitas kehidupan hanya bisa dicapai koperasi jika ia dapat mengembangkan kemampuannya dalam membangun dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi anggota-anggotanya serta masyarakat disekitarnya.
3) Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional Koperasi adalah satu-satunya bentuk perusahaan yang dikelola secara demokratis. Berdasarkan sifat seperti itu maka koperasi diharapkan dapat memainkan peranannya dalam menggalang dan memperkokoh perekonomian rakyat. Oleh karena itu koperasi harus berusaha sekuat tenaga agar memiliki kinerja usaha yang tangguh dan efisien. Sebab hanya dengan cara itulah koperasi dapat menjadikan perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional.
4) Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi Sebagai salah satu pelaku ekonomi dalam sistem perekonomian Indonesia, koperasi mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan perekonomian nasional bersama-sama dengan pelaku-pelaku ekonomi lainnya. Namun koperasi mempunyai sifat-sifat khusus yang berbeda dari sifat bentuk perusahaan lainnya, maka koperasi menempati kedudukan yang sangat penting dalam sistem perekonomian Indonesia. Dengan demikian koperasi harus mempunyai kesungguhan untuk memiliki usaha yang sehat dan tangguh, sehingga dengan cara tersebut koperasi dapat mengemban amanat dengan baik.
Manfaat Koperasi
Berdasarkan fungsi dan peran koperasi, maka manfaat koperasi dapat dibagi menjadi dua bidang, yaitu manfaat koperasi di bidang ekonomi dan manfaat koperasi di bidang sosial.
Manfaat Koperasi di Bidang Ekonomi
Berikut ini beberapa manfaat koperasi di bidang ekonomi :
a) Meningkatkan penghasilan anggota-anggotanya. Sisa hasil usaha yang diperoleh koperasi dibagikan kembali kepada para anggotanya sesuai dengan jasa dan aktivitasnya.
b) Menawarkan barang dan jasa dengan harga yang lebih murah. Barang dan jasa yang ditawarkan oleh koperasi lebih murah dari yang ditawarkan di toko-toko. Hal ini bertujuan agar barang dan jasa mampu dibeli para anggota koperasi yang kurang mampu.
c) Menumbuhkan motif berusaha yang berperikemanusiaan. Kegiatan koperasi tidak semata-mata mencari keuntungan tetapi melayani dengan baik keperluan anggotanya.
d) Menumbuhkan sikap jujur dan keterbukaandalam pengelolaan koperasi. Setiap anggota berhak menjadi pengurus koperasi dan berhak mengetahui laporan keuangan koperasi.
e) Melatih masyarakat untuk menggunakan pendapatannya secara lebih efektif dan membiasakan untuk hidup hemat.
Manfaat Koperasi di Bidang Sosial
Di bidang sosial, koperasi mempunyai beberapa manfaat berikut ini :
a) Mendorong terwujudnya kehidupan masyarakat damai dan tenteram.
b) Mendorong terwujudnya aturan yang manusiawi yang dibangun tidak di atas hubungan-hubungan kebendaan tetapi di atas rasa kekeluargaan.
c) Mendidik anggota-anggotanya untuk memiliki semangat kerja sama dan semangat kekeluargaan.
http://www.g-excess.com/3671/pengertian-koperasi-prinsip-peran-dan-manfaat-koperasi/
http://bahankuliah.blogsome.com/2010/06/24/koperasi-definisi-tujuan-bentuk-dan-jenisnya/

Minggu, 01 Januari 2012

Pelanggaran Hak Cipta


Pelanggaran Hak Cipta
Berdasarkan uraian di atas, masalah yang perlu dikemukakan dalam artikel ini adalah bagaimanakah makna dari perlindungan hukum terhadap pelanggaran hak cipta mengingat adanya persaingan pasar, perkembangan dan pembatasan kegunaan hak cipta, bentuk-bentuk pelanggaran hak cipta dan peng-aturan hukum dengan berlakunya UU No. 19 Tahun 2002 sebagai ius constitutum?.
Hak Cipta dalam Kerangka Persaingan Pasar
Keberadaan hak cipta sebagai hak ekslusif bagi para penciptanya harus dapat dihormati dan dihargai. Penemuan baru oleh peneliti atau pencipta bukan pekerjaan dalam waktu singkat, ia membutuhkan waktu lama dan biaya besar sehingga wajar hasil cipta tersebut harus dilindungi. Hasil ciptaan tersebut bahkan dapat digunakan untuk tujuan komersial dalam kegiatan bisnis yang amat menguntungkan.
John Naisbitt dan Patricia Aburdene telah meramalkan bahwa suatu saat nanti dunia yang dihuni manusia ini akan berubah menjadi suatu perkampungan global (global village) dengan pola satu sistem perekonomian atau single economy system berdasarkan permintaan/mekanisme pasar dan persaingan bebas. Mereka yang mampu survive adalah orang atau para pengusaha yang dapat menghasilkan “produk” dengan kualitas tinggi dan harga bersaing. Artinya, manusia yang berkualitas dalam era ini adalah mereka yang dianggap memiliki produk dengan “nilai jual” yang dapat diandalkan pada persaingan global, baik di pasar nasional, regional maupun internasional dengan berlakunya pasar bebas (free market) dalam perdagangan internasional.
Berkaitan dengan era pasar bebas dengan perdagangan barang dan atau jasa, bermula pada 15 April 1994 dengan tercapainya kesepakatan internasional di Maroko melalui Agreement on Establishing the World Trade Organization (WTO) yang dikenal sebagai Marrakesh Agreement. Adanya kesepakatan yang akhirnya melahirkan organisasi perdagangan dunia (WTO) ini, maka produk dari setiap orang atau negara diatur melalui mekanisme pasar yang mengutamakan kualitas barang dan atau jasa. Produk tersebut biasanya dilindungi hukum sebagai hasil rasa, karsa dan cipta manusia yang tidak bisa begitu saja untuk dilanggar. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional ikut menandatangani kesepakatan ter-sebut melalui UU No. 7 Tahun 1994 (LN Tahun 1994 No. 95 TLN No. 3564) tanggal 2 Nopember 1994 yang berlaku sebagai ius constitutum dalam konstelasi hukum nasional yang mempunyai dampak luas pada bidang lain. Konsekuensinya, semua kesepakatan itu harus ditaati dan diterapkan dengan konsisten. Salah satu agenda penting dari WTO adalah Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade in Counterfeit Goods. Kesepakatan ini akhirnya melahirkan TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights) yang bertujuan untuk meningkatkan perlindungan di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dari pembajakan atas suatu karya kreatif dan inovatif seseorang/kelompok orang, baik di bidang sastra, seni, teknologi dan karya ilmiah. Suatu hal yang cukup kompleks dan perlu dilakukan upaya adaptasi (penyesuai-an) terus menerus untuk dapat mengikuti dinamika perkembangan dengan perangkat hukum yang mengatur masalah baru tersebut karena sebelumnya justru tidak diatur dalam ketentuan hukum nasional. Kevakuman ini harus ditutupi dengan adanya aturan undang-undang sebagai kepastian hukum untuk mengikuti perkembangan iptek dan masyarakat internasional. Salah satu bidang HKI adalah hak cipta (copy rights) yang merupakan hak ekslusif (khusus) bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumum-kan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 LTU No. 19 Tahun 2002). Ciptaan merupakan hasil setiap karya pencipta dalam bentuk khas apapun juga dalam lapangan ilmu, seni dan sastra yang menguntungkan dari segi materil, moril dan reputasi seseorang atau kelompok orang yang menghasil-kan ciptaan berdasarkan kerja keras melalui pengamatan, kajian dan penelitian secara terus menerus. Sudah sewajarnya, hasil ciptaan orang lain harus dapat dilindungi hukum dari setiap bentuk pelanggaran hak cipta. la sebenarnya merupakan suatu perbuatan tidak terpuji dan tercela bahkan tidak “bermoral” oleh orang-orang tidak bertanggungjawab yang melakukannya, karena adanya”the morality that makes law possible.”
Pada kondisi ini, sudah pasti tidak dapat dihindarkan adanya kecen-derungan sebagian orang/kelompok orang yang menginginkan dengan berbagai cara untuk meneguk keuntungan finansial secara cepat tanpa usaha keras, mengeluarkan modal dan kejujuran dengan membajak hasil ciptaan orang lain ataupun mendompleng reputasi ciptaan pihak lain sehingga amat merugikan bagi para pencipta pertama. Tindakan ini sudah tentu tidak dapat dibenarkan, karena melanggar hukum sebab bukan hanya para pencipta yang sah saja merasa dirugikan, akan tetapi juga masyarakat luas mengalami kerugian besar karena memperoleh barang dan atau jasa tidak sesuai kualitas yang diharapkan. Keadaan ini dikhawatirkan dapat mengakibatkan terjadi degradasi moral dan etika dalam kehidupan masyarakat yang tidak mau menghargai kreasi intelektual pihak lain yang telah bersusah payah melahirkan ciptaannya.
Dalam pergaulan masyarakat internasional, negara-negara yang memproteksi atau membiarkan pelanggaran hak cipta tanpa adanya penindakan hukum dapat dimasukkan dalam priority watch list, karena tidak memberikan perlindungan HKI secara memadai bagi negara atau pemilik/pemegang izin ciptaan tersebut. Sanksi yang dijatuhkan dapat berupa pengucilan dalam pergaulan masyarakat internasional atau sanksi ekonomi dari produk negara itu pada transaksi bisnis internasional.
UU No. 19 Tahun 2002 yang berlaku efektif pada tanggal 23 Juli 2003 sebagai pengganti UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 1987 dan UU No. 12 Tahun 1997 diharapkan sekali menjadi a new legal framework atau perangkat hukum baru untuk mengantisipasi merebaknya pelanggaran hak cipta di tanah air oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dengan maksud untuk memperoleh keuntungan secara “bypass” atau “potong kompas” (cepat) dengan cara tercela melanggar hukum atas hak-hak orang lain. Keadaan demikian tentu akan menimbulkan masalah terhadap upaya perlindungan hukum atas pelanggaran hak cipta mengingat tidak semua orang dapat memahami-nya dengan baik.
Perkembangan dan Pembatasan Hak Cipta
Keberadaan copyright atau hak cipta semenjak tahun 1886 telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai hak ekslusif para pencipta. Sebagai salah satu bentuk karya intelektual yang dilindungi dalam HKI, hak cipta memiliki peran amat penting dalam rangka mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil karya ilmu pengetahuan, seni dan sastra serta teknologi untuk mempercepat upaya pertumbuhan pembangunan dan kecerdasan kehidupan suatu bangsa. Keadaan ini amat disadari oleh Pemerintah Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional tahun 2000-2004 pada kegiatan pembangunan pendidikan, khususnya program penelitian, peningkatan kapasitas dan pengembangan kemampuan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Suatu ciptaan dapat memberi nilai ekonomis bagi para pencipta dan pemegang izin melalui kegiatan ekonomi, yakni penjualannya ke pasar. Upaya menghasilkan suatu ciptaan membutuhkan proses waktu, nspirasi, pemikiran dana dan kerja keras sehingga wajar hasil karya para pencipta itu harus dilindungi dari setiap bentuk pelanggaran hak cipta yang sangat merugikan para pencipta. Sebaliknya, dalam batas-batas tertentu pada ketentuan undang-undang hak cipta, hasil ciptaan seseorang dapat dibenarkan diambil orang lain dengan izin atau tanpa izin pemilik yang bersangkutan tanpa perlu takut dikategorikan sebagai pelanggaran hukum terhadap hak cipta. Standar perlindungan atas HKI yang diterapkan dalam perjanjian adalah standar perlindungan minimal yang telah tertuang dalam perjanjian yang sudah ada sebelumnya yang dikembangkan pada perjanjian dan konvensi dalam naungan World Intellectual Property Organization (WIP0). Perlindungan terhadap hak cipta adalah berdasarkan pada kesepakatan The Beme Convention for the Protection of Literary and Artistic Works tanggal 9 September 1886 di Bern, Swiss. Pemerintah Belanda yang menjajah Indonesia pada tanggal 1 November 1912 memberlakukan keikutsertaannya pada Konvensi Bern melalui asas konkordansi di Hindia Belanda dengan mengeluarkan suatu Auterswet 1912 berdasarkan UU Hak Cipta Belanda pada tanggal 29 Juni 1911 (Stb Belanda No. 197). Konvensi Bern 1886 terus direvisi dan diamandir oleh negara-negara anggota WIP0. Terakhir direvisi di Paris pada tahun 1971 dan 1989. Keikutsertaan suatu negara sebagai anggota Konvensi Bern akan menimbulkan kewajiban negara peserta untuk menerapkan dalam perundang-undangan nasional di bidang hak cipta. Lima prinsip dasar dianut Konvensi Bern adalah sebagai berikut: Pertama, prinsip perlakuan nasional (national treatment principle), yakni ciptaan yang berasal dari salah satu peserta perjanjian atau suatu ciptaan yang pertama kali diterbitkan pada salah satu negara peserta perjanjian harus mendapat perlindungan hukum hak cipta yang sama sebagaimana diperoleh ciptaan peserta warga negara itu sendiri. Kedua, prinsip perlindungan hukum langsung/otomatis (automatic protection principle). Pemberian perlindungan hukum harus diberikan secara langsung tanpa harus memenuhi syarat apa pun (must not be conditional upon compliance with any formality). Ketiga, prinsip perlindungan independen (independent of protection principle), yakni suatu perlindungan hukum diberikan tanpa harus bergantung kepada pengaturan perlindungan hukum negara asal pencipta. Keempat, prinsip minimal jangka waktu hak cipta (minimum duration of copyright). Perlindungan diberikan minimal selama hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Kelima, prinsip hak-hak moral (moral rights principle). Hak yang tergolong sebagai hak moral dimiliki pencipta seperti keberatan mengubah, menambah atau mengurangi keaslian ciptaan yang perlu mendapat pengaturan perlindungan-nya dalam hukum nasional negara peserta Konvensi Bern.
Pemerintah Indonesia menjadi anggota WTO sejak tahun 1994. Keikutsertaan ini juga membawa konsekuensi hukum harus memberla-kukan semua hasil dan prinsip dasar dari Konvensi Bern. Hal, ini ditindak-lanjuti dengan mensahkannya melalui pembentukan Keppres RI No. 18 Tahun 1997 pada tanggal 7 Mei 1997 dan segera dinotifikasikan ke WIPO berdasarkan Keppres RI No. 19 Tahun 1997 tanggal 5 Juni 1997. Berlakunya hasil kesepakatan The Berne Convention di Indonesia, maka pemerintah harus mampu untuk melindungi ciptaan dari seluruh negara anggota peserta dan penandatangan The Berne Convention tersebut. Selain itu, Indonesia harus pula melindungi ciptaan bangsa asing yang ada di tanah air melalui kesepakatan pada perjanjian bilateral yang telah diratifikasi. Adanya perjanjian bilateral tersebut akan memberi perlindungan hukum dan rasa aman hak cipta secara timbal balik antara ciptaan bangsa kita dengan bangsa lain yang sama-sama bergabung dalam WTO, terutama
dengan berlakunya pasar bebas. Pada persetujuan TREPs, khususnya Pasal 7 menentukan konsep dasar sasaran perlindungan dan penegakan hukum (law enforcement) terhadap HKI yang ditujukan untuk memacu penemuan baru di bidang teknologi dan untuk memperlancar alih serta penyebaran teknologi dengan tetap memperhatikan kepentingan produsen dan pengguna pengetahuan tentang teknologi dan dilakukan dengan cara yang menunjang kesejahteraan sosial dan ekonomi, dan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Perlindungan itu didasarkan pada masalah pokok ruang lingkup berlakunya hak cipta dengan dua prinsip dasar, yakni utilitarian-non utilitarian or junctional-non functional dichotomy and idea expression dichotomy. Artinya, adanya dikotomi pada kegunaan-ketidakgunaan atau berfungsi-tidak berfungsi dan munculnya gagasan dari ciptaan tersebut.
Penjabaran dari kesepakatan internasional mengenai hak cipta yang diratifikasi oleh Indonesia terdapat pada ketentuan UU No. 19 Tahun 2002. Pada Pasal 12 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002 menentukan ciptaan yang dapat dilindungi ialah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra dan seni yang meliputi hasil karya.
a)      buku, program komputer, pamplet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain,
b)      ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu,
c)       alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan,
d)      lagu atau musik dengan atau tanpa teks
e)      drama atau drama musikal, tari, koreografl, pewayangan, dan pantomim,
f)       seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase dan seni terapan
g)      arsitektur,
h)      peta,
i)        seni batik,
j)        fotografi,
k)      sinematografi, dan
l)        terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
Sebaliknya, pada isi Pasal 13 menentukan pula dianggap tidak ada suatu hak cipta atas
a)      hasil rapat terbuka lembaga-lembaga negara,
b)      peraturan perundang-undangan,
c)       pidato kenegaraaan dan Pidato pejabat Pemerintah,
d)      putusan pengadilan atau penetapan hakim,
e)      keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya. Setiap ciptaan seseorang, kelompok orang ataupun korporasi (badan hukum) dilindungi oleh undang-undang karena pada ciptaan itu otomatis melekat hak cipta yang seyogianya harus dapat dihormati dan dipatuhi oleh orang lain.


Perlindungan hukum itu dimaksudkan agar hak pencipta secara ekonomis dapat dinikmati dengan tenang dan aman mengingat cukup lamanya diatur undang-undang waktu perlindungan tersebut. Masa berlaku perlindungan hak cipta secara umum adalah selain hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 tahun setelah penciptanya meninggal dunia yang dimulai sejak 1 Januari untuk tahun berikutnya setelah ciptaan tersebut diumumkan, diketahui oleh umum, diterbitkan, atau setelah penciptanya meninggal dunia (vide Pasal 34). Setiap pencipta atau pemegang izin hak cipta bebas untuk dapat menggunakan hak ciptanya, akan tetapi undang-undang menentukan pula adanya pembatasan terhadap penggunaan hak cipta itu. Pembatasan tersebut dimaksudkan supaya para pencipta dalam kegiatan kreatif dan inovatifnya tidak melanggar norma-nonna atau asas kepatutan yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, terutama di negara hukum seperti Indonesia mengingat hasil ciptaan umumnya akan dijual ke pasar (dalam dan luar negeri) untuk memperoleh keuntungan ekonomis bagi para pencipta atau pemegang izin guna dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Oleh karena sudah ditentukan pembatasan oleh ketentuan undang-undang, maka kebebasan penggunaan hak cipta tidak boleh melanggar pembatasan tersebut. Apabila pembatasan tersebut dilanggar oleh pencipta dan pemegang izin hak cipta, maka pencipta akan memperoleh sanksi hukum.
Adapun pembatasan penggunaan hak cipta yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun dapat dibagi dalam tiga hal: Pertama, kesusilaan dan ketertiban umum. Keterbatasan penggunaan hak cipta tidak boleh melanggar pada kesusilaan dan ketertiban umun. Contoh hak cipta yang melanggar kesusilaan adalah penggunaan hak untuk mengumumkan atau memper-banyak kalender bergambar wanita/pria telanjang, kebebasan seks atau pomografi, sedangkan termasuk melanggar ketertiban umum adalah memperbanyak dan menyebarkan buku yang berisi ajaran yang membolehkan wanita bersuami lebih dari satu (poliandri). Kedua, fungsi sosial hak cipta. Kebebasan penggunaan hak cipta tidak boleh meniadakan/mengurangi fungsi sosial dari pada hak cipta. Fungsi sosial hak cipta adalah memberi kesempatan kepada masyarakat luas untuk memanfaatkan ciptaan itu guna kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan, bahan pemecahan masalah, pembela-an perkara di pengadilan, bahan ceramah dengan menyebutkan sumbernya secara lengkap. Ketiga, pemberian lisensi wajib. Kebebasan penggunaan hak cipta tidak boleh meniadakan kewenangan dari negara untuk mewajibkan pencipta/pemegang hak cipta memberikan lisensi (compulsory licensing) kepada pihak lain untuk menerjemahkan atau memperbanyak hasil ciptaannya dengan imbalan yang wajar. Pemberian lisensi wajib didasarkan pada pertimbangan tertentu, yakni bila negara meman-dang perlu atau menilai suatu ciptaan sangat penting artinya bagi kehidupan masyarakat dan negara, misalnya untuk tujuan pendidikan, pengajaran, ilmu pengetahuan, penelitian, pertahanan, keamanan, dan ketertiban masyarakat yang membutuhkan pemakaian ciptaan tersebut.
Pembatasan penggunaan hak cipta adalah sebagai upaya keseimbangan hak antara pencipta dengan kepentingan masyarakat. Artinya, penggunaan hak cipta oleh pencipta diharapkan akan mewujudkan pula keadilan dalam kehidupan bermasyarakat.



Bentuk-bentuk Pelanggaran Hak Cipta
Umumnya pelanggaran hak cipta didorong untuk mencari keuntungan finansial secara cepat dengan mengabaikan kepentingan para pencipta dan pemegang izin hak cipta. Perbuatan para pelaku jelas melanggar fatsoen hukum yang menentukan agar setiap orang dapat mematuhi, menghormati dan menghargai hak-hak orang lain dalam hubungan keperdataan termasuk penemuan baru sebagai ciptaan orang lain yang diakui sebagai hak milik oleh ketentuan hukum.
Faktor-faktor yang mempengaruhi warga masyarakat untuk melanggar HKI menurut Parlugutan Lubis antara lain adalah
1.       pelanggaran HKI dilakukan untuk mengambil jalan pintas guna mendapatkan keun-tungan yang sebesar-besarnya dari pelanggaran tersebut;
2.       para pelanggar menganggap bahwa sanksi hukum yang dijatuhkan oleh pengadilan selama ini terlalu  ringan bahkan tidak ada tindakan preventif maupun represif yang dilakukan oleh para penegak hukum;
3.       ada sebagian warga masyarakat sebagai pencipta yang bangga apabila hasil karyanya ditiru oleh orang lain, namun hal ini sudah mulai hilang berkat adanya peningkatan kesadaran hukum terhadap HKI;
4.       dengan melakukan pelanggaran, pajak atas produk hasil pelanggaran tersebut tidak perlu dibayar kepada pemerintah; dan
5.       masyarakat tidak memperhatikan apakah barang yang dibeli tersebut asli atau palsu (aspal), yang penting bagi mereka harganya murah dan terjangkau dengan kemampuan ekonomi.
Dampak dari kegiatan tindak pidana hak cipta tersebut telah sedemikian besarnya merugikan terhadap tatanan kehidupan bangsa di bidang ekonomi, hukum dan sosial budaya. Di bidang sosial budaya, misalnya dampak semakin maraknya pelanggaran hak cipta akan menimbulkan sikap dan pandangan bahwa pembajakan sudah merupakan hal yang biasa dalam kehidupan masyarakat dan tidak lagi merupakan tindakan melanggar undang-undang (wet delicten). Pelanggaran hak cipta selama ini lebih banyak terjadi pada negara-negara berkembang (developing countries) karena ia dapat memberikan keuntungan ekonomi yang tidak kecil artinya bagi para pelanggar (pembajak) dengan memanfaatkan kelemahan sistem pengawasan dan pemantauan tindak pidana hak cipta.
Harus diakui, upaya pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran hak cipta selama ini belum mampu membuat jera para pembajak untuk tidak mengulangi perbuatannya, karena upaya penanggulangannya tidak optimal.
Bentuk-bentuk pelanggaran hak cipta antara lain berupa pengambilan, pengutipan, perekaman, pertanyaan dan pengumuman sebagian atau seluruh ciptaan orang lain dengan cara apa pun tanpa izin pencipta/pemegang hak cipta, bertentangan dengan undang-undang atau. melanggar perjanjian. Dilarang undang-undang artinya undang-undang hak cipta tidak memperkenan-kan perbuatan itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, karena tiga hal, yakni (1) merugikan pencipta/pemegang hak cipta, misalnya mem-foto kopi sebagian atau selurulnya ciptaan orang lain kemudian dijual/belikan kepada masyarakat luas; (2) merugikan kepentingan negara, misalnya mengumumkan ciptaan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan atau; (3) bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, misalnya memperbanyak dan menjual video compact disc (vcd) pomo. Melanggar perjanjian artinya memenuhi kewajiban tidak sesuai dengan isi kesepakatan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak, misalnya dalam perjanjian penerbitan karya cipta disetujui untuk dicetak sebanyak 2.000 eksemplar, tetapi yang dicetak/diedarkan di pasar adalah 4.000 eksemplar. Pembayaran royalti kepada pencipta didasarkan pada perjanjian penerbitan, yaitu 2.000 eksemplar bukan 4.000 eksemplar. Ini sangat merugikan bagi pencipta. Pelanggaran hak cipta menurut ketentuan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada tanggal 15 Pebruari 1984 dapat dibedakan dua jenis, yakni (1) mengutip sebagian ciptaan orang lain dan dimasukkan ke dalam ciptaan sendiri seolah-olah ciptaan sendiri atau mengakui ciptaan orang lain seolah-olah ciptaan sendiri. Perbuatan ini disebut plagiat atau penjiplakan (plagiarism) yang dapat terjadi antara lain pada karya cipta berupa buku, lagu dan notasi lagu, dan (2) mengambil ciptaan orang lain untuk diperbanyak dan diumumkan sebagaimana yang aslinya tanpa mengubah bentuk isi, pencipta dan penerbit/perekam. Perbuatan ini disebut dengan piracy (pembajakan) yang banyak dilakukan pada ciptaan berupa buku, rekaman audio/video seperti kaset lagu dan gambar (vcd), karena menyangkut dengan masalah a commercial scale.
Pembajakan terhadap karya orang lain seperti buku dan rekaman adalah salah satu bentuk dari tindak pidana hak cipta yang dilarang dalam undang-undang hak cipta. Pekerjaannya liar, tersembunyi dan tidak diketahui orang banyak apalagi oleh petugas penegak hukum dan pajak. Pekerjaan tersembunyi ini dilakukan untuk menghindarkan diri dari penangkapan pihak kepolisian. Para pembajak tidak akan mungkin menunaikan kewajiban hukum untuk membayar pajak kepada negara sebagaimana layaknya warga negara yang baik. Pembajakan merupakan salah satu dampak negatif dari kemajuan iptek di bidang grafika dan elektronika yang dimanfaatkan secara melawan hukum (illegal) oleh mereka yang ingin mencari keuntungan dengan jalan cepat dan mudah.
Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002 menentukan pula bentuk perbuatan pelanggaran hak cipta sebagai delik undang-undang (wet delict) yang dibagi tiga kelompok, yakni :
1.       Dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan, memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain melanggar larangan untuk mengumumkan, memperbanyak atau memberi izin untuk itu setiap ciptaan yang bertentangan dengan kebijak-sanaan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan dan ketertiban umum;
2.       Dengan sengaja memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang-barang hasil pelanggaran hak cipta. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain penjualan buku dan vcd bajakan
3.       Dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program computer.
 Dari ketentuan Pasal 72 tersebut, ada dua golongan pelaku pelanggaran hak cipta yang dapat diancam dengan sanksi pidana. Pertama, pelaku utama adalah perseorangan maupun badan hukum yang dengan sengaja melanggar hak cipta atau melanggar larangan undang-undang. Termasuk pelaku utama ini adalah penerbit, pembajak, penjiplak dan pencetak. Kedua, pelaku pembantu adalah pihak-pihak yang menyiarkan, memamerkan atau menjual kepada umum setiap ciptaan yang diketahuinya melanggar hak cipta atau melanggar larangan undang-undang hak cipta. Termasuk pelaku pembantu ini adalah penyiar, penyelenggara pameran, penjual dan pengedar yang menyewakan setiap ciptaan hasil kejahatan/pelanggaran hak cipta atau larangan yang diatur oleh undang-undang. Kedua golongan pelaku pelanggaran hak cipta di atas, dapat diancam dengan sanksi pidana oleh ketentuan UU No. 19 tahun 2002. Pelanggaran dilakukan dengan sengaja untuk niat meraih keuntungan sebesar-besanya, baik secara pribadi, kelompok maupun badan usaha yang sangat merugikan bagi kepentingan para pencipta.
Pengaturan Perlindungan Hukum Hak Cipta
Barang-barang yang diproduksi palsu dan dijual ke pasar, selain merugikan bagi penerimaan royalti para pencipta juga mengurangi pendapatan pajak negara dan penurunan kualitas barang yang dapat dinikmati oleh masyarakat konsumen. Kerugian ini jelas harus ditanggulangi dengan melakukan penegakan hukum atas pelanggaran hak cipta tersebut sehingga dapat tercipta perlindungan yang diharapkan oleh semua pihak, terutama para pencipta/pemegang izin. Daya kreatif dan inovatif para pencipta akan mengalami penurunan, jika pelanggaran hak cipta terus berlangsung tanpa ada penegakan hukum yang memadai dengan menindak para pelakunya. Negara melalui aparat penegak hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung harus bertanggung jawab dengan adanya peristiwa ini dengan berupaya keras melakukan penang-gulangan merebaknya pelanggaran hak cipta. Apabila tidak ada penegakan hukum yang konsisten terhadap para pelanggar, maka akan sulit terwujudnya suatu perlindungan hukum terhadap hak cipta yang baik.

Intisari dari Undang-undang anti monopoli dan persaingan tidak sehat


Intisari dari Undang-undang anti monopoli dan persaingan tidak sehat
Latar belakang diundangkannya Undang-undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara RI No. 33 Tahun 1999) adalah karena sebelum UU tersebut diundangkan muncul iklim persaingan usaha yang tidak sehat di Indonesia, yaitu adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, baik itu dalam bentuk monopoli maupun bentuk-bentuk persaingan usaha tidak sehat lainnya. Pemusatan kekuatan ekonomi pada kelompok pengusaha tertentu terutama yang dekat dengan kekuasaan, telah menyebabkan ketahanan ekonomi Indonesia menjadi rapuh karena bersandarkan pada kelompok pengusaha-pengusaha yang tidak efisien, tidak mampu berkompetisi, dan tidak memiliki jiwa wirausaha untuk membantu mengangkat perekonomian Indonesia. UU No. 5/1999 ini diundangkan setelah Indonesia mengalami krisis ekonomi di tahun 1997-1998 yang meruntuhkan nilai rupiah dan membangkrutkan negara serta hampir semua pelaku ekonomi. Undang-undang ini juga merupakan salah satu bentuk reformasi ekonomi yang disyaratkan oleh International Monetary Fund untuk bersedia membantu Indonesia keluar dari krisis ekonomi.
Undang-undang ini berlaku efektif pada tanggal 5 Maret 2000. Untuk mengawasi dan menerapkan Undang-undang ini dibentuk Komisi Pengawas Pengawas Persaingan Usaha atau disingkat KPPU (berdasar pasal 30 UU No. 5/1995) Secara umum, isi UU No. 5/1999 telah merangkum ketentuan-ketentuan yang umum ditemukan dalam undang-undang antimonopoli dan persaingan tidak sehat yang ada di negara-negara maju, antara lain adanya ketentuan tentang jenis-jenis perjanjian dan kegiatan yang dilarang undang-undang, penyalahgunaan posisi dominan pelaku usaha, kegiatan-kegiatan apa yang tidak dianggap melanggar undang-undang, serta perkecualian atas monopoli yang dilakukan negara.
Sejauh ini KPPU telah sering menjatuhkan keputusan kepada para pelaku usaha di Indonesia yang melakukan perjanjian-perjanjian atau kegiatan-kegiatan yang dikategorikan terlarang oleh UU No. 5Akan tetapi, sejauh ini KPPU belum pernah memberi keputusan yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan usaha yang dikecualikan dari ketentuan UU No. 5/1999, padahal terdapat sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha yang dikecualikan dari aturan UU No. 5/1999 (sebagaimana diatur di pasal 50 dan 51 UU No.5/19996). Sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha yang dikecualikan tersebut berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya karena dimungkinkan munculnya penafsiran yang berbeda-beda antara pelaku usaha dan KPPU tentang bagaimana seharusnya melaksanakan sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut tanpa melanggar UU No. 5/1999. Bisa jadi suatu perjanjian atau suatu kegiatan usaha dianggap masuk dalam kategori pasal 50 UU No. 5/1999 oleh pelaku usaha, tetapi justru dianggap melanggar undang-undang oleh KPPU. Oleh karena itu, perlu adanya ketentuan lanjutan yang lebih detil mengatur pelaksanaan sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut demi menghindarkan salah tafsir dan memberikan kepastian hukum baik bagi pengusaha maupun bagi KPPU. Sebagaimana dapat dibaca di pasal 50 dan 51, aturan tentang sepuluh jenis perjanjian dan kegiatan usaha tersebut masing-masingnya diatur dengan sangat singkat, dalam satu kalimat saja.
Salah satu kegiatan/perjanjian usaha yang tidak dikategorikan melanggar UU No. 5/1999 adalah “perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri” (pasal 50 huruf g UU No. 5/1999). Ketentuan ini sangat sumir, terlalu singkat, yang dapat menimbulkan perbedaan penafsiran dan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya.
Artikel ini bertujuan untuk menemukan batasan hukum dalam mendefisinikan perjanjian dan perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan pasokan pasar dalam negeri. Dengan itu penulis berharap dapat membantu KPPU dalam menyusun pedoman pelaksanaan yang lebih jelas dan rinci bagi pelaku usaha di Indonesia yang ingin memanfaatkan ketentuan pasal 50 huruf g. Pedoman yang jelas dan rinci tersebut juga sangat dibutuhkan oleh pelaku usaha atau eksportir Indonesia untuk menghindari ketidakpastian hukum.
Untuk mencapai tujuan di atas, penulis melakukan penelitian kepustakaan baik atas bahan hukum primer (UU No. 5/1999 dan undang-undang persaingan sehat dari beberapa negara lain) serta atas bahan hukum sekunder (artikel-artikel hukum dari jurnal Indonesia dan asing)./1999. serta yang menyalahgunakan posisi dominan mereka.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh penulis, maka pembahasan dalam artikel ini difokuskan kepada tiga hal, yaitu:
a.       . Pengertian umum perjanjian dan perbuatan ekspor yang tidak melanggar undang-undang antimonopoli dan persaingan sehat.
b.      .Pelaksanaan ketentuan perjanjian dan perbuatan ekspor yang dikecualikan dan tidak melanggar undang-undang antimonopoli dan persaingan sehat di dunia
c.        Pengaturan ketentuan pengecualian terhadap perbuatan dan perjanjian ekspor dalam kesepakatan internasional yang dikelola WTO (World Trade Organisation)
Dikarenakan tidak adanya rujukan atau pengalaman di Indonesia yang dapat memberikan gambaran atas pelaksanaan perjanjian atau perbuatan ekspor yang tidak melanggar undang-undang antimonopoli dan persaingan sehat, maka penulis harus merujuk pada pengalaman hukum di negara-negara lain dalam melaksanakan ketentuan serupa. Dari pengalaman hukum di negara-negara lain, terutama negara-negara yang telah menjalankan undang-undang antimonopoli dan persaingan sehat dalam waktu yang lama, maka diharapkan penulis dapat melakukan pembahasan atas ketiga hal di atas, dan selanjutnya dapat menarik kesimpulan untuk menentukan batasan-batasan dalam pelaksanaan pasal 50 huruf g UU No. 5/1999 di Indonesia.
Pengalaman negara-negara lain dalam menerapkan aturan antimonopoli dan persaingan sehat dapat digunakan sebagai rujukan di Indonesia karena hampir semua undang-undang antimonopoli dan persaingan sehat di dunia memiliki karakteristik dan tujuan akhir yang sama, yaitu untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat demi keuntungan konsumen dan pembangunan ekonomi dalam negerinya
a.       Afifah Kusumadara adalah dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Pendapat dan opini yang ditulis di artikel ini adalah dari penulis dan tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat dan opini KPPU.
b.       Lihat Penjelasan Umum atas UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
c.        Lihat Letter of Intent and Memorandum of Economic and Financial Policies yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia kepada IMF tanggal 11 September 1998. http://www.imf.org/external/np/loi/091198.htm. Diakses pada 27 Juli 2007.
d.       Perjanjian yang dilarang oleh UU No. 5/1999 adalah: oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust, oligopsoni, intregasi vertikal, dan perjanjian tertutup. Sedang kegiatan yang dilarang oleh UU No. 5/1999 adalah: monopoli, monopsoni, penguasaan pasar dan persengkokolan.
e.       Lihat situs KPPU
f.       Yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah:
·         perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang undangan yang berlaku.
·         perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten,         merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba.
·         perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan.
·         perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan.
·         perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas.
·         perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia.
·         perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri.
·         pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil.
·         kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.

Pasal 51
Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha
Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.





Minggu, 23 Oktober 2011

Prosedur Mendirikan Suatu Badan Hukum

Penjelasan Prosedur mendirikan Suatu Badan HukumCV atau Comanditaire Venootschap adalah bentuk usaha yang merupakan salah satu alternatif yang dapat dipilih oleh para pengusaha yang ingin melakukan kegiatan usaha dengan modal yang terbatas. Karena, berbeda dengan PT yang mensyaratkan minimal modal dasar sebesar Rp. 50jt dan harus di setor ke kas Perseroan minimal 25%nya, untuk CV tidak ditentukan jumlah modal minimal. Jadi, misalnya seorang pengusaha ingin berusaha di industri rumah tangga, percetakan, biro jasa, perdagangan, catering, dll dengan modal awal yang tidak terlalu besar, dapat memilih CV sebagai alternatif Badan Usaha yang memadai.Apakah bedanya CV dengan PT?
Perbedaan yang mendasar antara PT dan CV adalah, PT merupakan Badan Hukum, yang dipersamakan kedudukannya dengan orang dan mempunyai kekayaan yang terpisah dengan kekayaan para pendirinya. Jadi, PT dapat bertindak keluar baik di dalam maupun di muka pengadilan sebagaimana halnya dengan orang, serta dapat memiliki harta kekayaan sendiri. Sedangkan CV, dia merupakan Badan Usaha yang tidak berbadan hukum, dan kekayaan para pendirinya tidak terpisahkan dari kekayaan CV.
Karakteristik CV yang tidak dimiliki Badan Usaha lainnya adalah: CV didirikan minimal oleh dua orang, dimana salah satunya akan bertindak selaku Persero Aktif (persero pengurus) yang nantinya akan bergelar Direktur, sedangkan yang lain akan bertindak selaku Persero Komanditer (Persero diam). Seorang persero aktif akan bertindak melakukan segala tindakan pengurusan atas Perseroan; dengan demikian, dalam hal terjadi kerugian maka Persero Aktif akan bertanggung jawab secara penuh dengan seluruh harta pribadinya untuk mengganti kerugian yang dituntut oleh pihak ketiga. Sedangkan untuk Persero Komanditer, karena dia hanya bertindak selaku sleeping partner, maka dia hanya bertanggung jawab sebesar modal yang disetorkannya ke dalam perseroan.
Perbedaan lain yang cukup penting antara PT dengan CV adalah, dalam melakukan penyetoran modal pendirian CV, di dalam anggaran dasar tidak disebutkan pembagiannya seperti halnya PT. Jadi, para persero harus membuat kesepakatan tersendiri mengenai hal tersebut, atau membuat catatan yang terpisah. Semua itu karena memang tidak ada pemisahan kekayaan antara CV dengan kekayaan para perseronya.
BAGAIMANA CARA MENDIRIKAN CV?
CV dapat didirikan dengan syarat dan prosedur yang lebih mudah daripada PT, yaitu hanya mensyaratkan pendirian oleh 2 orang, dengan menggunakan akta Notaris yang berbahasa Indonesia. Walaupun dewasa ini pendirian CV mengharuskan adanya akta notaris, namun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dinyatakan bahwa pendirian CV tidak mutlak harus dengan akta Notaris.
Pada saat para pihak sudah sepakat untuk mendirikan CV, maka dapat datang ke kantor Notaris dengan membawa KTP. Untuk pendirian CV, tidak diperukan adanya pengecekan nama CV terlebih dahulu. Oleh karena itu proses nya akan lebih cepat dan mudah dibandingkan dengan pendirian PT.
Namun demikian, dengan tidak didahuluinya dengan pengecekan nama CV, menyebabkan nama CV sering sama antara satu dengan yang lainnya.
Pada waktu pendirian CV, yang harus dipersiapkan sebelum datang ke Notaris adalah adanya persiapan mengenai:
1. Calon nama yang akan digunakan oleh CV tersebut
2. tempat kedudukan dari CV
3. Siapa yang akan bertindak selaku Persero aktif, dan siapa yang akan bertindak selaku persero diam.
4. Maksud dan tujuan yang spesifik dari CV tersebut (walaupun tentu saja dapat mencantumkan maksud dan tujuan yang seluas-luasnya).
Untuk menyatakan telah berdirinya suatu CV, sebenarnya cukup hanya dengan akta Notaris tersebut, namun untuk memperkokoh posisi CV tersebut, sebaiknya CV tersebut di daftarkan pada Pengadilan Negeri setempat dengan membawa kelengkapan berupa Surat Keterangan Domisili Perusahaan (SKDP) dan NPWP atas nama CV yang bersangkutan.
Apakah itu akta, SKDP, NPWP dan pendaftaran pengadilan saja sudah cukup?
Sebenarnya semua itu tergantung pada kebutuhannya. Dalam menjalankan suatu usaha yang tidak memerlukan tender pada instansi pemerintahan, dan hanya digunakan sebagai wadah berusaha, maka dengan surat-surat tersebut saja sudah cukup untuk pendirian suatu CV. Namun, apabila menginginkan ijin yang lebih lengkap dan akan digunakan untuk keperluan tender, biasanya dilengkapi dengan surat-surat lainnya yaitu:
1. Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP)
2. Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP)
3. Tanda Daftar Perseroan (khusus CV)
4. Keanggotaan pada KADIN Jakarta.
Pengurusan ijin-ijin tersebut dapat dilakukan bersamaan sebagai satu rangkaian dengan pendirian CV dimaksud, dengan melampirkan berkas tambahan berupa:
1. Copy kartu keluarga Persero Pengurus (Direktur) CV
2. Copy NPWP Persero Pengurus (Direktur) CV
3. Copy bukti pemilikan atau penggunaan tempat usaha, dimana
a. apabila milik sendiri, harus dibuktikan dengan copy sertifikat dan copy bukti
pelunasan PBB th terakhir
b. apabila sewa kepada orang lain, maka harus dibuktikan dengan adanya
perjanjian sewa menyewa, yang dilengkapi dengan pembayaran pajak sewa
(Pph) oleh pemilik tempat.
sebagai catatan berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta, untuk wilayah Jakarta, yang
dapat digunakan sebagai tempat usaha hanyalah Rumah toko, pasar atau perkantoran.
Namun ada daerah-daerah tertentu yang dapat digunakan sebagai tempat usaha yang
tidak membayakan lingkungan, asalkan mendapat persetujuan dari RT/RW setempat
4. Pas photo ukuran 3X4 sebanyak 4 lembar dengan latar belakang warna merah
Jangka waktu pengurusan semua ijin-ijin tersebut dari pendirian sampai dengan selesai lebih kurang selama 2 bulan.

MOTIVASI :

KONSEP-KONSEP DASAR TENTANG MOTIVASI

Motivasi merupakan jantung-nya proses belajar. Oleh kerana motivasi begitu penting dalam proses pembelajaran, maka tugas guru yang pertama dan terpenting adalah membangkitkan atau membangun motivasi pelajar terhadap apa yang akan dipelajari oleh pelajar. Motivasi bukan sahaja menggerakkan tingkah laku, tetapi juga mengarahkan dan memperkuat tingkah laku. Pelajar yang bermotivasi dalam pembelajaran akan menunjukkan minat, semangat dan ketekunan yang tinggi dalam pelajaran, tanpa banyak bergantung kepada guru.
Menurut para pakar motivasi terdapat dua jenis motivasi yang umum, iaitu motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah keinginan bertindak yang disebabkan oleh faktor pendorong yang murni berasal dari dalam diri individu, dan tujuan tindakan itu terlibat di dalam tindakan itu sendiri, bukan di luar tindakan tersebut. Berbeza dengan motivasi ekstrinsik, iaitu keinginan bertingkah laku sebagai akibat dari adanya rangsangan dari luar atau kerana adanya kekuasaan dari luar. Tujuan bertingkah laku pun tidak terlibat dalam tingkah laku itu sendiri, tetapi berada di luar tindakan tersebut.


Di dalam proses belajar, motivasi intrinsik lebih berkesan mendorong pelajar dalam belajar. Namun bukan bermakna bahawa motivasi ekstrinsik perlu dihindari sama sekali. Motivasi ekstrinsik dapat memancing timbulnya motivasi intrinsik. Banyak pelajar yang termotivasi secara ekstrinsik dapat berjaya dengan baik dalam belajar, seperti halnya dengan pelajar-pelajar yang termotivasi secara intrinsik, asalkan guru dapat membantu mereka dengan cara yang tepat sesuai dengan keperluan mereka. Ada berbagai cara yang dapat dilakukan oleh guru dalam membangkitkan motivasi pelajar dalam belajar melalui pengembangan motivasi ekstrinsik, seperti memberikan penghargaan atau celaan, membangun persaingan, memberikan hadiah atau hukuman, dan memberi tahu kemajuan yang dicapai oleh pelajar. Masing-masing cara mempunyai kelebihan-kelebihan dan kelemahan-kelemahannya sendiri. Guru harus menentukan cara yang paling tepat sehingga berbagai kelemahan dapat dikurangi atau dihindarkan sama sekali, dan sebaliknya kekuatan-kekuatan yang ada dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya.